Hari
itu, ketika kami tiba di Dusun Susukan, Desa Sukoharjo, Kecamatan Pabelan,
Kabupaten Semarang, tepatnya di rumah Bapak Henry, kita memohon izin untuk
istirahat sejenak dan menitipkan sepeda motor kami. Dari rumah, kami sudah
niatan untuk mengeksplor di sekitaran dusun tersebut. Setengah jam kemudian
kami mulai berjalan menyusuri bagian-bagian desa tersebut, matahari sudah
mencapai pada teriknya, tak begitu lama, sampailah kita pada sebuah gubuk
sederhana di tengah sawah yang dimukimi oleh keluarga kecil yang sederhana dan
nampak bahagia. Dalam keluarga tersebut terdiri dari dua orang saja, yaitu
Bapak Citro dan Ibu Sariyem. Dilihat dari keadaan ekonomi keluarga tersebut,
dapat dikatakan beliau memiliki gubuk itu dan membangunnya degan hutang kepada
bank, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari sangatlah sulit, beliau hanya
bekerja sebagai petani buruh, pendapatnanya juga tidak menentu. Namun jika
ditanya tentang kegigihan dalam bertahan hidup, jangan diragukan lagi, karena
tiap hari beliau bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Waktu itu
beliau sedang istirahat di siang hari, istilah jawanya rolasan. Kami yang menghampiri beliau berdua langsung disambut
hangat dengan keramahtamahan dan kesederhanaan beliau. Tak begitu lama, beliau
menyapa kami, ada dari beberapa kami yang di kenali oleh ibu Sariyem, karena
memang sebelumnya pernah berkunjung pada beliau, kamipun langsung dipersilahkan
duduk dan dengan sedikit basa-basi ibu Sariyem memberikan kami suguhan berupa
salak, betapa terkejutnya kami, karena beliau yang rumahnya hanya di sebuah
gubuk sederhana dan hidup dalam garis kemiskinan masih memberikan kami sebuah
suguhan dan menawarkan kami berbagai hal, bukan maksud kami untuk merendahkan
beliau berdua, namun sebaliknya, kami merasa kagum dan sangat terharu masih
bisa menemui makhluk ciptaan Tuhan yaitu seorang manusia yang sulit ditemui
pada zaman yang serba instan ini, bukan karena unik, atau langka namun karena
sifatnya yang mulia dan bersahaja. Sedangkan kebanyakan orang masa kini hanya
mementingkan dirinya sendiri dan terkesan acuh tak acuh atau sudah tidak peduli
dengan lingkungan sekitar.
Tak
berselang lama, kami saling bercengkrama sambil menikmati teriknya mentari dan
hembusan angin yang membuat hati serasa teduh dan enggan beranjak dari suasana
yang sudah lama tidak kami nikmati ini, disela-sela pembicaraan kami Pak Citro
dan Bu Sariyem selalu memberikan sebuah candaan-candaan yang menurut kami
sangat berkualitas, lebih berkualitas dari candaan yang ada di stasiun TV saat
ini, tak hanya beberapa candaan yang kami dapat, kami juga mendapatkan banyak
sekali pengetahuan, wawasan dan juga petuah-petuah yang diberikan oleh beliau
berdua, cara memberikannyapun juga terkesan unik, kadang beliau memberikan
lewat tembang, kadang memberikan lewat pitutur dari zaman terdahulu dan kadang
juga memberikan lewat analogi-analogi yang diceritakan oleh Pak Citro. Tak
hanya itu kadang beliau berdua juga memberikan sebuah pendapat yang saling
bertubrukan atau istilahnya tidak ada kecocokan antara pendapat satu dengan
pendapat yang lain, yang membuat kami terheran-heran, mengapa beliau berdua
bisa memiliki hubungan yang langgeng dan malah menjadikan perbedaan pandangan
ini menjadi sebuah bumbu dalam kehidupan mereka berdua selama ini. Padahal
seperti kita tahu, biasanya orang yang menikah itu didasari oleh perasaan yang
sama dan visi/tujuan yang sama.
Di
kesempatan ini kami mencoba menanyakan beberapa hal kepada bapak dan ibu Citro,
banyak hal yang ternyata mereka ketahui, mulai dari sejarah, penjajahan,
sekolah, pemerintah, korupsi, dan mengenai devisapun juga tahu, kami
terheran-heran untuk kedua kalinya, karena kami yang notabane-nya sebagai
mahasiswa sendiri kurang mengerti tentang hal tersebut, sedangkan pak Citro
yang berprofesi sebagai petani buruh malah memiliki wawasan yang lebih luas di
banding kami. Setiap kali Pak Citro dan Ibu ditanya pasti mereka memberikan
jawaban yang berbeda, contohnya Pak Citro, ketika kami tanya soal harapan
kepada pemerintah, Pak Citro langsung menjawab “wong kuwi ojo kakehan kekarep, mergo kekarep kuwi dalanmu marang
kebecikan dadi seret” maksudnya,
orang itu jangan banyak mengharapkan sesuatu, karena harapan itu akan memperlambat
jalanmu pada kebaikan. Mengapa demikian, karena harapan itu akan membenuk kita
pada target, dan target itu pasti akan dicapai dengan cara apapun agar bisa
tercapai, pada fase inilah yang dimaksud
Pak Citro jika memiliki harapan jalanmu pada kebaikan akan terhambat, karena
kita memikirkan berbagai cara untuk bisa mewujudkan, dan dari apa yang dilihat
Pak Citro pada calon wakil rakyat, sudah jelas bahwa mereka menggunakan
berbagai cara untuk merebut kursi wakil rakyat tersebut, dan biasanya cara yang
digunakan adalah cara yang kurang etis dan tidak sesuai norma. Pada akhirnya
Pak Citro hanya menjawab “urip iku nrimo
ing pandum, ora susah neko-neko, tansah tulung-tinulung” maksudnya, hidup itu menerima apa adanya,
tidak perlu berbuat macam-macam dan saling bantu. “Kalau memang adanya nasi putih dan garam ya kita makan, kalau memang
adanya gubuk reyot, ya kita tinggali” lanjut Pak Citro. Dengan begitu kita
bisa menikmati hidup ini tanpa harus ada tuntutan-tuntutan di hati kita. Memang
benar apa yang telah dikatakan oleh Pak Citro sesuai dengan keadaan.
Ada
lagi keunikan yang dimiliki oleh pasangan suami istri ini, selain memiliki
wawasan yang luas, ternyata Pak Citro memiliki rasa humoris yang tinggi, beliau
sering mengait-ngaitkan sebuah kejadian dengan sebuah filosofi yang diberikan
oleh kakeknya dulu, entah karena senang atau memang karena sudah menjadi
makanan sehari-hari, kejadian-kejadian yang dirasa perlu untuk dipelajari pasti
selalu beliau kaitkan dengan filosofi, awalnya kami merasa itu memang hal yang
lucu, karena memang lucu dan Pak Citro juga ikut tertawa, namun setelah kami
pikir-pikir filosofi yang Pak Citro jelaskan memang benar adanya. Misalnya saat
beliau bicara tentang gempa bumi, menurut beliau hal itu terjadi karena ulah
tangan manusia yang selalu mengebor tanah untuk mencari bahan tambang, Pak
Citro memfilosofikannya “nek kayu sing
mbok bolongi kuwi wae isoh pecah kok, opo maneh lemah sing mung koyo ngono
empuke” artinya, kayu yang keras saja jika dilubangi lama-lama akan pecah,
apalagi tanah yang sifatnya lembek, pasti akan mudah pecah juga, pelajaran yang
berharga dari Pak Citro. Selanjutnya, ketika beliau menjelaskan tetang orang
yang lumpuh bisa keliling dunia, secara nalar, pasti kita sudah menyangkal dan
tertawa mendengar pernyataan seperti itu, namun lagi-lagi Pak Citro bisa
memecahkan sangkalan itu, beliau berkata kepada kami “ suk jamane ono wong
lumpuh sing isoh ngubengi jagat” maksudnya, pada suatu saat akan ada orang
lumpuh yang bisa mengelilingi dunia, sontak kamipun tertawa dan merasa heran
kepada Pak Citro. Namun hal itu bukanlah tanpa sebab, beliau menambahkan dengan
pernyataan bahwa sekarang sudah ada kotak ajaib yang namanya Televisi, jadi
kita tinggal duduk dan kita bisa menyaksikan acara di luar negeri dengan
melihat televisi tersebut, memang analogi yang logis yang dilakukan oleh Pak
Citro. Cerita lain yang menurut kami paling unik adalah bahwa beliau berdua
sering dikunjungi oleh turis luar negeri yang berkuliah di daerah Salatiga dan
Semarang, dan Pak Citro dan Ibu selalu menganggap dirinya sebagai seorag model,
karena mereka selalu diminta untuk berfoto dan memeragakan aktivitas beliau
sehari-hari, memang kisah yang sangat lucu, menambah wawasan dan selera humor
yang dimiliki Pak Citro sangatlah tinggi dan intelek, meskipun dengan kehidupan
yang kurang layak dan kurangnya sarana prasarana yang memadai.
Lain
Pak Citro lain juga dengan Ibu Sariyem atau Bu Citro, jika Pak Citro selalu
menjawab dengan embel-embel filosofi, maka Ibu Citro menjawab dengan tembang
jawa atau lagu-lagu jawa, entah apa yang ditanyakan kepada Ibu Citro, maka
beliau selalu mendahulukan tembang jawa sebagai peghantar jawabannya. Suara Ibu
Citro ternyata juga merdu, apalagi bernyanyi ditengah hijaunya pohon padi dan
angin yang sepoi-sepoi. Didi Kempot yang merupakan salah satu seniman
campursari merupakan idola bagi Ibu Citro, beliau juga pernah mengatakan bahwa
bahasa jawa merupakan bahasa yang terbaik, karena dapat menyejukkan hati, tidak
membuat pusing dan yang terpenting mudah dipahami oleh Bu Citro sendiri. Ketika
ditanya apa harapan beliau, maka beliau menjawab “nek saget, kula niki nggeh gadah sertifikat rumah, saget nyukupi
kebutuhan lan geh wonten bedah rumah niko lhe mas kaliyan syuur dhumatemg Gusti”
maksudnya, kalau bisa, saya bisa memiliki sertifikat rumah, mencukupi kebutuhan
hidup sehari-hari dan ada tim bedah rumah yang berkenan datang kemari dan selau
bersyukur kepada Tuhan. Selain itu beliau juga ingin sekali-kali berpergian
kekota naik sepeda motor yang lebih beliau kenal dengan sebutan “Honda”.
.
Perbedaan dua jawaban yang beliau paparkan sangatlah jelas, jika pak Citro
lebih mementingkan jawaban dengan rasional dan logika, sedangkan Ibu Sariyem
lebih condong pada sisi realitas dan agama. Bukan hanya ketika itu saja beliau
berdua memberikan pendapat yang berbeda, bahkan hampir tiap obrolan yang kami
tanyakan dijawab dengan dua jawaban yang berbeda yang saling tidak mendukung
dan terkesan seperti orang yang sdang bekelahi, namun itulah yang bisa mereka
jadikan hiburan di waktu yang senggang seperti ini. Kami juga merasa terhibur
oleh beliau, belum pernah kami melihat orang yang hidup dalam kesusahan namun
hati mereka merasa bahagia, bahagia bukan karena materi, tetapi bahagia karena
mereka bisa membantu sesama, bisa berbagi pengalaman bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar