Senin, 30 Desember 2013

Pak Citro , Bu Sariyem Riwayatmoe Doeloe

Hari itu, ketika kami tiba di Dusun Susukan, Desa Sukoharjo, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang, tepatnya di rumah Bapak Henry, kita memohon izin untuk istirahat sejenak dan menitipkan sepeda motor kami. Dari rumah, kami sudah niatan untuk mengeksplor di sekitaran dusun tersebut. Setengah jam kemudian kami mulai berjalan menyusuri bagian-bagian desa tersebut, matahari sudah mencapai pada teriknya, tak begitu lama, sampailah kita pada sebuah gubuk sederhana di tengah sawah yang dimukimi oleh keluarga kecil yang sederhana dan nampak bahagia. Dalam keluarga tersebut terdiri dari dua orang saja, yaitu Bapak Citro dan Ibu Sariyem. Dilihat dari keadaan ekonomi keluarga tersebut, dapat dikatakan beliau memiliki gubuk itu dan membangunnya degan hutang kepada bank, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari sangatlah sulit, beliau hanya bekerja sebagai petani buruh, pendapatnanya juga tidak menentu. Namun jika ditanya tentang kegigihan dalam bertahan hidup, jangan diragukan lagi, karena tiap hari beliau bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
  Waktu itu beliau sedang istirahat di siang hari, istilah jawanya rolasan. Kami yang menghampiri beliau berdua langsung disambut hangat dengan keramahtamahan dan kesederhanaan beliau. Tak begitu lama, beliau menyapa kami, ada dari beberapa kami yang di kenali oleh ibu Sariyem, karena memang sebelumnya pernah berkunjung pada beliau, kamipun langsung dipersilahkan duduk dan dengan sedikit basa-basi ibu Sariyem memberikan kami suguhan berupa salak, betapa terkejutnya kami, karena beliau yang rumahnya hanya di sebuah gubuk sederhana dan hidup dalam garis kemiskinan masih memberikan kami sebuah suguhan dan menawarkan kami berbagai hal, bukan maksud kami untuk merendahkan beliau berdua, namun sebaliknya, kami merasa kagum dan sangat terharu masih bisa menemui makhluk ciptaan Tuhan yaitu seorang manusia yang sulit ditemui pada zaman yang serba instan ini, bukan karena unik, atau langka namun karena sifatnya yang mulia dan bersahaja. Sedangkan kebanyakan orang masa kini hanya mementingkan dirinya sendiri dan terkesan acuh tak acuh atau sudah tidak peduli dengan lingkungan sekitar.
Tak berselang lama, kami saling bercengkrama sambil menikmati teriknya mentari dan hembusan angin yang membuat hati serasa teduh dan enggan beranjak dari suasana yang sudah lama tidak kami nikmati ini, disela-sela pembicaraan kami Pak Citro dan Bu Sariyem selalu memberikan sebuah candaan-candaan yang menurut kami sangat berkualitas, lebih berkualitas dari candaan yang ada di stasiun TV saat ini, tak hanya beberapa candaan yang kami dapat, kami juga mendapatkan banyak sekali pengetahuan, wawasan dan juga petuah-petuah yang diberikan oleh beliau berdua, cara memberikannyapun juga terkesan unik, kadang beliau memberikan lewat tembang, kadang memberikan lewat pitutur dari zaman terdahulu dan kadang juga memberikan lewat analogi-analogi yang diceritakan oleh Pak Citro. Tak hanya itu kadang beliau berdua juga memberikan sebuah pendapat yang saling bertubrukan atau istilahnya tidak ada kecocokan antara pendapat satu dengan pendapat yang lain, yang membuat kami terheran-heran, mengapa beliau berdua bisa memiliki hubungan yang langgeng dan malah menjadikan perbedaan pandangan ini menjadi sebuah bumbu dalam kehidupan mereka berdua selama ini. Padahal seperti kita tahu, biasanya orang yang menikah itu didasari oleh perasaan yang sama dan visi/tujuan yang sama.
Di kesempatan ini kami mencoba menanyakan beberapa hal kepada bapak dan ibu Citro, banyak hal yang ternyata mereka ketahui, mulai dari sejarah, penjajahan, sekolah, pemerintah, korupsi, dan mengenai devisapun juga tahu, kami terheran-heran untuk kedua kalinya, karena kami yang notabane-nya sebagai mahasiswa sendiri kurang mengerti tentang hal tersebut, sedangkan pak Citro yang berprofesi sebagai petani buruh malah memiliki wawasan yang lebih luas di banding kami. Setiap kali Pak Citro dan Ibu ditanya pasti mereka memberikan jawaban yang berbeda, contohnya Pak Citro, ketika kami tanya soal harapan kepada pemerintah, Pak Citro langsung menjawab “wong kuwi ojo kakehan kekarep, mergo kekarep kuwi dalanmu marang kebecikan dadi seret”  maksudnya, orang itu jangan banyak mengharapkan sesuatu, karena harapan itu akan memperlambat jalanmu pada kebaikan. Mengapa demikian, karena harapan itu akan membenuk kita pada target, dan target itu pasti akan dicapai dengan cara apapun agar bisa tercapai,  pada fase inilah yang dimaksud Pak Citro jika memiliki harapan jalanmu pada kebaikan akan terhambat, karena kita memikirkan berbagai cara untuk bisa mewujudkan, dan dari apa yang dilihat Pak Citro pada calon wakil rakyat, sudah jelas bahwa mereka menggunakan berbagai cara untuk merebut kursi wakil rakyat tersebut, dan biasanya cara yang digunakan adalah cara yang kurang etis dan tidak sesuai norma. Pada akhirnya Pak Citro hanya menjawab “urip iku nrimo ing pandum, ora susah neko-neko, tansah tulung-tinulung”  maksudnya, hidup itu menerima apa adanya, tidak perlu berbuat macam-macam dan saling bantu. “Kalau memang adanya nasi putih dan garam ya kita makan, kalau memang adanya gubuk reyot, ya kita tinggali” lanjut Pak Citro. Dengan begitu kita bisa menikmati hidup ini tanpa harus ada tuntutan-tuntutan di hati kita. Memang benar apa yang telah dikatakan oleh Pak Citro sesuai dengan keadaan.
Ada lagi keunikan yang dimiliki oleh pasangan suami istri ini, selain memiliki wawasan yang luas, ternyata Pak Citro memiliki rasa humoris yang tinggi, beliau sering mengait-ngaitkan sebuah kejadian dengan sebuah filosofi yang diberikan oleh kakeknya dulu, entah karena senang atau memang karena sudah menjadi makanan sehari-hari, kejadian-kejadian yang dirasa perlu untuk dipelajari pasti selalu beliau kaitkan dengan filosofi, awalnya kami merasa itu memang hal yang lucu, karena memang lucu dan Pak Citro juga ikut tertawa, namun setelah kami pikir-pikir filosofi yang Pak Citro jelaskan memang benar adanya. Misalnya saat beliau bicara tentang gempa bumi, menurut beliau hal itu terjadi karena ulah tangan manusia yang selalu mengebor tanah untuk mencari bahan tambang, Pak Citro memfilosofikannya “nek kayu sing mbok bolongi kuwi wae isoh pecah kok, opo maneh lemah sing mung koyo ngono empuke” artinya, kayu yang keras saja jika dilubangi lama-lama akan pecah, apalagi tanah yang sifatnya lembek, pasti akan mudah pecah juga, pelajaran yang berharga dari Pak Citro. Selanjutnya, ketika beliau menjelaskan tetang orang yang lumpuh bisa keliling dunia, secara nalar, pasti kita sudah menyangkal dan tertawa mendengar pernyataan seperti itu, namun lagi-lagi Pak Citro bisa memecahkan sangkalan itu, beliau berkata kepada kami “ suk jamane ono wong lumpuh sing isoh ngubengi jagat” maksudnya, pada suatu saat akan ada orang lumpuh yang bisa mengelilingi dunia, sontak kamipun tertawa dan merasa heran kepada Pak Citro. Namun hal itu bukanlah tanpa sebab, beliau menambahkan dengan pernyataan bahwa sekarang sudah ada kotak ajaib yang namanya Televisi, jadi kita tinggal duduk dan kita bisa menyaksikan acara di luar negeri dengan melihat televisi tersebut, memang analogi yang logis yang dilakukan oleh Pak Citro. Cerita lain yang menurut kami paling unik adalah bahwa beliau berdua sering dikunjungi oleh turis luar negeri yang berkuliah di daerah Salatiga dan Semarang, dan Pak Citro dan Ibu selalu menganggap dirinya sebagai seorag model, karena mereka selalu diminta untuk berfoto dan memeragakan aktivitas beliau sehari-hari, memang kisah yang sangat lucu, menambah wawasan dan selera humor yang dimiliki Pak Citro sangatlah tinggi dan intelek, meskipun dengan kehidupan yang kurang layak dan kurangnya sarana prasarana yang memadai.
Lain Pak Citro lain juga dengan Ibu Sariyem atau Bu Citro, jika Pak Citro selalu menjawab dengan embel-embel filosofi, maka Ibu Citro menjawab dengan tembang jawa atau lagu-lagu jawa, entah apa yang ditanyakan kepada Ibu Citro, maka beliau selalu mendahulukan tembang jawa sebagai peghantar jawabannya. Suara Ibu Citro ternyata juga merdu, apalagi bernyanyi ditengah hijaunya pohon padi dan angin yang sepoi-sepoi. Didi Kempot yang merupakan salah satu seniman campursari merupakan idola bagi Ibu Citro, beliau juga pernah mengatakan bahwa bahasa jawa merupakan bahasa yang terbaik, karena dapat menyejukkan hati, tidak membuat pusing dan yang terpenting mudah dipahami oleh Bu Citro sendiri. Ketika ditanya apa harapan beliau, maka beliau menjawab “nek saget, kula niki nggeh gadah sertifikat rumah, saget nyukupi kebutuhan lan geh wonten bedah rumah niko lhe mas kaliyan syuur dhumatemg Gusti” maksudnya, kalau bisa, saya bisa memiliki sertifikat rumah, mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan ada tim bedah rumah yang berkenan datang kemari dan selau bersyukur kepada Tuhan. Selain itu beliau juga ingin sekali-kali berpergian kekota naik sepeda motor yang lebih beliau kenal dengan sebutan “Honda”.

. Perbedaan dua jawaban yang beliau paparkan sangatlah jelas, jika pak Citro lebih mementingkan jawaban dengan rasional dan logika, sedangkan Ibu Sariyem lebih condong pada sisi realitas dan agama. Bukan hanya ketika itu saja beliau berdua memberikan pendapat yang berbeda, bahkan hampir tiap obrolan yang kami tanyakan dijawab dengan dua jawaban yang berbeda yang saling tidak mendukung dan terkesan seperti orang yang sdang bekelahi, namun itulah yang bisa mereka jadikan hiburan di waktu yang senggang seperti ini. Kami juga merasa terhibur oleh beliau, belum pernah kami melihat orang yang hidup dalam kesusahan namun hati mereka merasa bahagia, bahagia bukan karena materi, tetapi bahagia karena mereka bisa membantu sesama, bisa berbagi pengalaman bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar